Penulis: Dwi Nugroho
Perkembangan teknologi, yang datang secara sporadis dalam dasawarsa terakhir ini, mampu merubah struktur ekonomi, politik, pendidikan, dan juga sosial dunia. Artificial Inttelegence, kemudian dikenal sebagai bagian yang ditawarkan oleh revolusi industri 4.0, secara periodik, mengancam keberadaan manusia dalam beberapa aspek kerja. Dalam dunia pendidikan, misalnya, kehadiran Artificial Inttelegence secara berjangka menggantikan peran manusia sebagai fasilitator pendidikan.
Rencana pemangkasan tenaga kerja di bidang layanan publik eselon 3 dan 4, yang diproyeksikan selesai pada tahun ini, merupakan bukti dimana manusia akan tergantikan oleh mesin-mesin hasil produksi industri 4.0. Terlebih, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrat (KemenPAN-RB) di tahun 2020 saat ini menargetkan bahwa pemangkasan tersebut selesai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa fenomena robotisasi akan mendominasi sektor-sektor pelayanan publik. Dan, tentu pengambilan kebijakan akan mendasar pada perkembangan dunia, yaitu proses digitalisasi dan robotisasi.
Rencana ini menegasikan bahwa kelas-kelas yang dihadirkan ke publik tidak banyak yang mempunyai relevansi terhadap dunia kerja. Artinya ini merupakan sebuah kesia-siaan. Kehadiran sekolah yang masih tradisional, dengan menggunakan metode berpikir yang usang, hanya akan membuat anak didik terbelenggu dengan pengetahuan yang dihadirkan dalam kelas tersebut. Sehingga, menjadi sebuah kelaziman bahwa kelas-kelas yang dihadirkan saat ini oleh lembaga pendidikan menjadi sebuah hal yang percuma.
Relevansi pengetahuan dan kemampuan dengan kebutuhan pada masa yang akan datang sangat penting untuk diketahui. Ketidakrelevanan lembaga pendidikan saat ini terjadi karena kelas tidak berorientasi pada perkembangan dunia. Fenomena-fenomena yang masif terjadi sekarang ini memperlihatkan bahwa kejutan dan tantangan semakin kompleks. Pola pikir yang tradisional dan menganggap bahwa sesuatu yang baru akan merusak tatanan strukturalisasi akan membuat semakin lebar jarak pengetahuan dengan negara lainnya.
Ke depan akan ada banyak perusahaan akan merubah kebijakan untuk menggunakan mesin dalam jumlah yang lebih besar. Artinya, tenaga kerja lulusan sekolah menengah atas dan sederajat tidak akan terpakai. Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak menghadirkan kebaruan dan skill serta pengetahuan. Lebih lanjut, lulusan Perguruan Tinggi juga akan mengalami hal yang sama. Degradasi ilmu pengetahuan perlahan akan menyimpulkan bahwa lembaga pendidikan akan usang dan memberikan kesia-siaan.
Yuval Noah Harari, seorang sejarawan asal Israel yang mendapat gelar Ph.D dari Universitas Oxford menyebutkan bahwa Artificial Inttelegence merupakan ancaman bagi dunia pendidikan pada abad 21. Seorang yang terkenal dengan buku-buku best sellernya (Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons) ini telah jauh-jauh hari memperingatkan bahwa dunia sekarang ini sedang tidak bersahabat dan unpredicted.
Hal yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah banyak sekolah-sekolah yang tidak membekali atau memberikan pengetahuan yang cukup dan relevan untuk menghadapi persaingan global. Padahal, di tahun 2050 keadaannya jelas berbeda dengan sekarang. Yuval Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century menjelaskan bahwa di tahun 2050 akan membuktikan bahwa terdapat banyak kelas yang tidak berguna (sia-sia).
McKinsey Global Institut menjelaskan bahwa di tahun 2030 akan ada sekitar 375 juta jenis pekerjaan yang dioperasikan oleh mesin (read: kompas). Selain itu, Prof. Dr. Catur Sugiyanto, Guru Besar FEB UGM, juga menjelakan bahwa kurang lebih ada 65 persen pekerjaan manusia akan hilang dan berganti dengan jenis pekerjaan yang baru. Fenomena ini menjadi ancaman bagi banyak pihak (orang yang tidak mempunyai pengetahuan dan skill rendah) dan keuntungan bagi segelintir orang (borjuis, kapitalis birokrat, dan pemodal).
Kelas-kelas yang dihadirkan di dalam lembaga pendidikan hari ini tentu harus dikaji ulang. Banyak pengetahuan-pengetahuan yang didistribusikan hanya mengacu pada pengetahuan yang tidak relevan dengan kebutuhan masa depan. Don Topscott dalam bukunya “The Learning Revolution” menjelaskan bahwa revolusi industri dewasa ini memaksa semua pihak untuk memikirkan kembali tentang apa yang dipahami terkait pendidikan, pembelajaran, bisnis, ekonomi dan pemerintahan.
Hampir semua orang tidak tahu tentang situasi dan kondisi di masa depan. Bahkan, pemerintah, pelaku politik, scientists dan juga praktisi bidang pendidikan tidak mengerti secara pasti apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Era berkelimpahan (abundance era) diproyeksikan akan menyertai kehidupan manusia, seperti apa yang dijelaskan oleh Peter Diamandis dan Ray Kurzweil dari Singularuty University. Di era inilah manusia akan mengalami ketergantungan terhadap mesin (AI).
Era ini yang disebut oleh Yuval Noah Harari sebagai era dimana pendidikan yang saat ini tidak relevan dengan kebutuhan masa yang akan datang. Era ketergantungan terhadap mesin akan membatasi ruang gerak manusia dalam aspek kerja. Abundance Era akan menyingkirkan peran-peran manusia sebagai aktor utama dalam beberapa jenis pekerjaan. Tidak menutup kemunkinan semua jenis pekerjaan akan terintegrasi dengan AI. Sehingga proses transformasi ke Cyber-Pshycal Sytems, Internet of Thing (IoT) and Cloud Computing akan terjadi lebih cepat daripada prediksi yang dikembangkan.
Ketika sekolah-sekolah tidak bisa menghadirkan kelas-kelas yang inovatif maka sekolah hanya akan menjadi ritual. Hingga kemudian fenomena demokrasi plutokrasi akan semakin membabibuta keberadaan manusia. Kemudian, pengambilan kebijakan juga akan berdasar pada kekayaan yang dimiliki segelintir orang, seperti fenomena discordance (penguasaan teknologi oleh beberapa pihak).
Lembaga pendidikan seharusnya memperbanyak dan memperdalam pengetahuan berbasis skill terkait perkembangan dunia. Lembaga pendidikan seharusnya mengerti tentang kebutuhan di masa depan. Kebutuhan-kebutuhan yang unpredicteble seharusnya dapat diselesaikan dengan metode-metode belajar yang tidak pasif.
Jika lembaga pendidikan masih menerapkan metode dan pengetahuan-pengetahuan berbasis kurikulum, maka lembaga pendidikan hanya akan menyia-nyiakan waktu. Sehingga, wajib sekolah 12 tahun akan menjadi hal yang percuma. Bahkan, jika Perguruan Tinggi tidak mampu menghadirkan novelty, maka benar saja bahwa sekolah atau lembaga pendidikan akan menjadi sebuah kesia-siaan. Dan, perkembangan teknologi akan menjadi ancaman.
Ada beberapa hal yang harus dihadirkan di dalam kelas-kelas formal maupun non formal. Pertama, critical thinking. Hal ini menjadi penting untuk dimiliki oleh peserta didik. Critical thinking sangat dibutuhkan untuk melihat peluang dan tantangan yang sedang dan akan terjadi di masa mendatang. Tentu lembaga pendidikan menjadi pihak yang seharusnya menyediakan ruang-ruang untuk membangun mental berpikir yang kritis. Hal ini ditegaskan oleh Yuval dalam buku 21st Lessons bahwa apa yang dibutuhkan untuk menjawa tantangan global adalah mentality.
Kedua, collaboration. Proses kerja secara bersama-sama ini akan memudahakan semua pihak untuk menjawab tantangan global. Itu karena dalam proses ini semua pihak dapat mengambil peran dan tanggung jawab yang sama dalam proses kerja. Terlebih kolaborasi dilakukan dengan perkembangan teknologi yang semakin sophisticated. Ketiga, creativity. Lembaga pendidikan seharusnya memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas masing-masing. Membatasi anak-anak dengan kurikulum tentu saja akan memenjarakan mereka dalam aktivitas atau pengetahuan yang tidak mereka suka. Hal ini berakibat fatal pada pertumbuhan pola pikir mereka. Lembaga pendidikan hadir untuk melatih kreativitas anak, bukan justru memenjarakan mereka dengan pengetahuan-pengetahuan yang tidak relevan dengan kebutuhan masa depan.