Penulis: Adipati Opi (Jurnalis)
Saya terdiam sejenak. Setelah membaca judul sebuah berita dengan kata Baku “Dua Oknum Wartawan Ditetapkan Jadi Tersangka Pemerasan”.
Bukan tanpa alasan kenapa saya sempat terdiam membaca tulisan judul berita tersebut, tulisannya sangat jelas ” Wartawan” dan “Pemerasan”.
Dada saya terasa sesak, mungkin karena aliran darah yang tidak teratur lantaran kaget dengan penulisan judul berita tersebut (Rasanya hati saya seperti di cabik).
Seorang sepuh wartawan yang sudah kawakan dibeberapa media ternama pun berkomentar “Janganlah di tulis oknum wartawan. Tulis lah dengan kata yang lain. Sedih rasanya membaca judul berita itu,” celetuknya.
Membaca komentarnya yang seperti itu, jemari tangan saya seperti dengan sendirinya bergerak untuk menanggapi komentar wartawan senior itu.
“Tidak ada yang salah dalam penulisan judul berita tersebut. Karena itu memang faktanya,” ujar saya dalam sebuah ketikan WhatsApp (WA).
Tidak saya sangka, ternyata tanggapan saya itu menjadi awal perdebatan sengit antara saya, si wartawan senior dan beberapa kawan wartawan lainnya.
“Menarik,” Saya bergumam.
Lalu, seperti tak terima tanggapan saya, dia memprotes. “Wartawan itu profesi mulia, kita sesama wartawan saling menjaga. Jangan lah ditulis oknum wartawan memeras,” kata dia.
Lagi, saya pun menanggapi kembali, “Wartawan memang profesi mulia. Tapi tidak untuk di muliakan,” timpal saya lagi.
Dia membalas “Ya kan bisa ditulis judulnya misalkan Berandal lakukan pemerasan,” saran dia.
Membaca saran dia di atas itu, saya tertawa sinis seraya menuliskan “Wartawan itu bukan berandal. Dan yang dilakukan oknum tersebut di duga mengancam dengan publikasi pemberitaan, bukan dengan Sajam (Senjata Tajam),” tulis saya seolah jemari dan fikiran saya otomatis berjalan dengan sendirinya.
Lalu dia membalas dengan penuh tanya. “Kalau memang benar dia wartawan, kenapa tidak ditulis di media mana dia bernaung. Jangan-jangan dia bukan wartawan, hanya mengaku-aku,” tulis dia.
Membaca balasannya saya sedikit mengernyutkan Dahi. “Jika ditulis media tempat oknum tersebut bernaung, tentunya akan berdampak negatif pada media tersebut. Dan itu jelas merugikan perusahaan media itu sendiri. Saya rasa semua redaksi di perusahaan media akan bersikap sama jika mengolah pemberitaan yang sama seperti itu. Mereka saling jaga,” tulis saya menjelaskan.
Setelah saya tunggu beberapa waktu, sang senior tidak lagi menampakkan perasaan sedihnya dengan wujud protes cuitan lewat pesan singkat itu.
Saya pun berfikir dan berkata dalam hati. “mungkin dia lelah. Atau dia sudah mengerti apa yang saya maksud,” pikir saya seraya membayangkan sosoknya.
Menurut saya, pada dasarnya semua profesi sangat mulia, karena bermanfaat untuk khalayak umum. Tapi jika profesi itu di muliakan, maka akan berdampak pada ketidakprofesionalan yang berakibat pada pemanfaatan profesi hingga akhirnya keluar dari tugas, pokok, dan fungsinya.
Zaman sekarang, menjadi seorang wartawan seperti membalikkan telapak tangan, sangat mudah.
Di beberapa daerah, saya mendengar informasi ada orang mengaku wartawan tapi tidak pernah liputan dan tidak bisa membuat tulisan berita.
Ada juga orang yang mengaku wartawan, datang ke tempat organisasi daerah, organisasi pendidikan dengan gaya Don Juan. Ujung-ujungnya tidak akan pulang kalau tidak diberi amplop berisi uang.
Parahnya lagi, ada orang yang mengaku wartawan tapi tidak bisa membaca dan menulis. Hanya modal berani dan mengantongi sebuah lipatan koran yang diselipkan di kantong celana bagian belakang atau dilipat dan di selipkan di dalam tas selempangan datang dengan membawa aib seseorang dan mengancam narasumbernya dengan “akan” memberitakan aibnya “Padahal mah kagak bisa nulis berita”.
Ada juga yang mengaku wartawan dengan modal KTA (Kartu Tanda Anggota) yang dibuat di pasar dengan harga Rp 25 ribu hanya untuk ganteng-gantengan di lapangan.
Kawan, kamu harus faham dan tahu. Wartawan adalah kontrol sosial. Tugasnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah suatu informasi dan mengemas informasi tersebut dalam sebuah tulisan berita dengan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, dan bekerja sesuai undang-undang pokok Pers yang berlaku.
Wartawan Bukan Untuk Memeras dan Menakut-nakuti Narasumbernya.
“Benar katakan benar, Salah katakan salah”. (*)